Minggu, 04 April 2010

SEKILAS PENDAPAT

.

Tema pemikiran saya adalah mengenai fenomena golongan putih atau yang lebih sering disingkat dengan golput.

Sebelum saya masuk kepada inti permasalahan kita, saya akan menyinggung sedikit tentang awal mula munculnya golput. Sebenarnya golput ini sudah ada sejak pemilu pada tahun 1955, namun pada saat itu golput hanya dinilai sebagai tidak sah-nya surat suara dikarenakan kesalahan dalam tata cara pemilihan. Namun golongan putih ini baru benar-benar dimaknai keberadaannya pada tahun 1971 setelah Arief Budiman dan kawan-kawan mencetuskan suatu gerakan kultural yang dinamakan golput.

Munculnya gagasan golput pada masa Orde Baru tersebut adalah sebagai bentuk protes terhadap penguasa pada waktu itu yang mengekang hak-hak politik warga negaranya dengan hanya memperbolehkan tiga partai saja sebagai kontestan pemilu, bahkan warga seperti dipaksa untuk terus mendukung salah satu partai saja.

Jika dibandingkan dengan saat itu, kondisi sekarang sudah jauh berbeda. Dulu pemerintah hanya memperbolahkan adanya tiga partai, sedangkan untuk pemilu tanggal 9 April 2009 nanti sudah ada tiga puluhan lebih partai yang siap bersaing. Menurut perkiraan, seharusnya potensi untuk golput itu semakin kecil dalam sistem multi partai seperti ini, namun realitas yang terpantul menyatakan golput tetap eksis, bahkan semakin eksis.

Disini saya akan memaparkan beberapa alasan kenapa fenomena golput ini terus terjadi:

Pertama adalah masalah teknis, hal ini salah satunya disebabkan oleh proses pendaftaran pemilih yang hancur-hancuran, seringkali data penduduk potensial pemilih tidak valid. Ada orang yang sudah meninggal, tapi masuk daftar pemilih, anak yang belum cukup umur tapi sudah terdaftar sebagai pemilih. Ada yang sudah pindah daerah tapi masih terdaftar sebagai pemilih di tempat tinggalnya yang lama, ada pemilih yang terdaftar ganda, bahkan yang lebih menyedihkan ada yang berhak memilih tapi tak terdaftar, apalagi bila pemilih yang tidak terdaftar ini adalah orang yang telah berniat untuk ikut menyumbangkan suaranya, sungguh tidak adil rasanya, karena walau bagaimanapun, tidak peduli apakah ia seorang pekerja biasa, seorang pelajar, atau seorang pemulung sekalipun, mereka semua adalah rakyat Indonesia yang suaranya juga patut diperhitungkan, bukan?.

Selain itu, masalah tidak fleksibelnya TPS yang tersedia. Dalam sistem pemilu kita hanya mengenal tiga TPS khusus yaitu TPS RS, TPS Lapas dan TPS LN. Di ketiga tempat tersebut walaupun pemilihnya hanya puluhan orang saja ada TPS-nya, tapi untuk para mahasiswa yang belajar di luar daerah, sampai hari ini belum ada TPS khusus kampus, padahal tidak semua dari mereka dapat pulang ke daerah asal mereka pada hari pemilu. Dapat kita bayangkan berapa puluh ribu bahkan mungkin ratusan ribu suara yang hilang diakibatkan golput yang dipaksakan. Hal ini sangat disayangkan, karena di zaman serba canggih ini, namun cara memberikan suara masih sangat tradisional sekali.

Tidak hanya para pelajar luar daerah itu saja yang dibuat pusing, bagaimana dengan nasib para penduduk pelosok? Kalau TPS-nya hanya menyeberang jalan raya, tak masalah, justru yang menjadi permasalahan adalah yang harus meretas jalan setapak puluhan KM, menyeberang sungai, laut dan segalanya, sementara dampak dari pasca pemilu tak begitu signifikan bagi mereka, tentunya hal ini membuat perasaan malas untuk ikut berpartisipasi.

0 comments

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 

feel my melody